Naegleria Fowleri; Amuba pemakan otak yang menewaskan orang Korea

Korea selatan melaporkan kematian pertama kalinya yang disebabkan oleh infeksi Naegleria Fowleri; Amuba pemakan otak.
Korban adalah pria berusia 50 tahun yang dilaporkan terinfeksi amuba tersebut di Thailand, dan meninggal sehari setelah kembali ke Seoul, Korea Selatan.
Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (The Korea Disease Control and Prevention Agency – KDCA) telah mengkonfirmasi bahwa warga negara Korea tersebut meninggal disebabkan oleh Nagleria Fowleri. Ini adalah infeksi dan kematian pertama yang diektahui di Korea selatan, pertama kalinya dilaorkan di Amerika Serikat pada tahun 1937.
KDCA mengatakan, penularan amuba ini melalui air dan tidak memungkinkan jika penyebaran antar manusia, sehingga KDCA meminta warga untuk menahan diri dari berenang di daerah di mana penyakit tersebut menyebar.
Beberapa hal yang perlu diketahui mengenai amuba pemakan otak ini (Naegleria Fowleri)
- Amuba ini biasanya hidup di air tawar yang mempunyai suhu hangat seperti danau, sungai, kanal dan telaga di berbagai dunia.
- Naegleria fowleri menginfeksi manusia melalui hidung dan menyebar melalui saraf penciuman dan menyerang otak. Inilah salah satu sebabnya kita dilarang untuk berenang atau menyelam di danau yang belum diketahui kebersihannya.
- Ketika amuba ini menyerang otak, hal ini menyebabkan Primary Amebic Meningoencephalitis (PAM) dan hal ini bisa berakibat fatal.
- Gejala PAM biasanya mulai di hari kelima setelah infeksi, tapi bisa juga diantara hari pertama ke hari 12
- Gejala awalnya biasanya sakit kepala, demam, mual, dan muntah. Biasanya diiringi leher kaku, kejang, halusinasi bahkan koma
- Kemungkinan meninggal dari infeksi amuba ini adalah 97%. Menurut USDC hanya 4 diantara 154 orang yang berhasil bertahan dari infeksi ini sejak 1962 hingga sekarang.
- Naegleria fowleri tidak bisa menular dari manusia ke mansia.
Total 381 kasus naegleria fowleri dilaporkan di seluruh penjuru dunia termasuk Amerika Serikat, India dan Thailand.
oleh: David R. Sentika