Mati Batang Otak atau Brain Death
Mati Otak sebelum “Mati”
Setelah dua bulan dirawat dan ramai diberitakan, akhirnya pasien di Rumah Sakit Ibnu Sina, Gresik, dinyatakan mati batang otak (MBO) oleh tim dokter. Diagnosis final memang harus dilakukan, terlepas dari kontroversi kasus yang masih berjalan.
Istilah mati batang otak atau mati mempunyai sejarah panjang dalam seabad terakhir. Ada cerita, dahulu seorang raja Inggris berpesan, jika meninggal, dia meminta tidak dikubur dulu sampai 40 hari untuk menentukan dirinya benar-benar mati. Bahkan, terbukti, saat perang Vietnam, banyak prajurit Amerika yang sebenarnya dikubur hidup-hidup. Saat mayat mereka dipindah ke Amerika, dalam peti mati ada bekas guratan-guratan kuku dan di lambungnya ada kain baju yang mungkin dimakan saat dia lapar dalam peti mati.
Kriteria mati adalah hal yang bernuansa sakral dan sains. Perkembangan dunia kedokteran serta teknologi diagnosis (dianggap) sudah cukup andal dalam menentukan 99 persen keadaan mati. Dunia kedokteran semakin digiring untuk menentukan kriteria itu karena beberapa alasan sahih seperti kebutuhan donor organ, ketersediaan ruang perawatan intensif, serta klaim asuransi.
Mati batang otak adalah keadaan terjadinya kerusakan permanen di batang otak dan seluruh otak. Diyakini bahwa fungsi otak juga bermakna fungsi hidup bagi manusia. Meski otak shut down, fungsi organ lain, terutama jantung dan paru-paru, bisa berlanjut dengan bantuan mesin. Dalam sejarah di Jepang, ada pasien dengan MBO yang bisa bertahan 14,5 tahun dengan bantuan mesin karena permintaan keluarga.
Masih ada kontroversi bagi penyanjung kehidupan karena makna mati tidak saja berarti ’’biological death’’, tetapi ada aspek lain yang harus diperhatikan. Misalnya, ’’social death’’ atau ’’psychological death’’. Meski sudah menggunakan bantuan mesin, keluarga masih merasa nyawa pasien tetap ada. Pada ibu yang meninggal setelah melahirkan, dengan bantuan mesin, ternyata air susunya masih keluar sehingga bisa menyusui anaknya. Artinya, pusat pengatur hormon di otak masih berfungsi.
Tim dokter di RS Ibnu Sina menyatakan bahwa MBO ditegakkan setelah melalui kriteria dan pemeriksaan ketat sehingga pasien dinyatakan sudah meninggal. Tetapi, di sisi lain, sesuai dengan kultur masyarakat, keluarga menginginkan meninggal secara wajar. Jadi, mesin bantu napas tetap diminta dipasang.
Keadaan mati otak secara sosiopsikologis bukan ’’mati’’ yang wajar. Rasanya tidak manusiawi bagi tim dokter untuk menghentikan semua life support saat MBO ditegakkan. Infus, mesin napas, bahkan nutrisi tetap diberikan tanpa pemberian obat-obatan. Satu paham, biarkan meninggal secara manusiawi sesuai kehendak Yang di Atas!
Harvard Criteria 1968 adalah kesepakatan pertama tentang mati otak dengan kriteria:
- Tidak ada respon dari pasien (unresponsitivity )
- Tidak ada gerakan atau tidak bernafas (no movement or breathing)
- Tidak ada gerakan refleks (no reflexes)
- isoelectric EEG
Kriteria yang cukup sederhana sesuai dengan kemajuan dan teknologi kedokteran saat itu, tetapi masih ada peluang hanya mati suri.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 1988 menentukan kriteria mati:
- Hilangnya fungsi napas dan jantung yang permanen serta
- Hilangnya fungsi otak, termasuk batang otak yang permanen. Kriteria mati otak adalah tidak adanya refleks-refleks batang otak, tes apnea positif (napas berhenti tanpa mesin), dan tes diulang setelah 24 jam lagi dengan hasil sama.
Kriteria yang tetap mengayomi kultur masyarakat kita, fungsi jantung dan paru ditulis, bukan hanya otak.
Sampai saat ini, belum ada kriteria baku yang sama di masing-masing negara, bahkan protokol teknis antarrumah sakit sering berbeda. Di Inggris, hilangnya refleks-refleks batang otak adalah kriteria utama. Di Swedia dan Jepang, MBO harus ditegakkan dengan pemeriksaan EEG (rekam otak) atau angiografi otak (tes aliran darah otak).
Di Indonesia, diagnosis MBO ditegakkan secara klinis dengan prasyarat tertentu oleh minimal dua orang spesialis yang berkompeten, tetapi di Amerika Serikat bisa dilakukan dokter umum karena kebutuhan yang kadang perlu cepat dan efisien. Bahkan, sertifikat untuk mendiagnosis MBO harus dimiliki sebagai syarat dokter umum bekerja di rumah sakit.
Di Indonesia, kematian di masyarakat lebih bermakna ’’religius’’ dan ’’social death’’. Kita berusaha, tetapi Yang di Atas menentukan. Kriteria IDI cukup fleksibel untuk mengayomi hal tersebut, yakni sangat jarang kriteria MBO dilakukan cepat dan kaku. Di lapangan, biasanya penghentian mesin dilakukan bertahap untuk kesan alami berhentinya jantung dan napas. Bahkan, bila keluarga berkehendak tetap mempertahankan bantuan mesin, biasanya aspek pendekatan kekeluargaan dan penjelasan dari tim medis secara bertahap lebih dikedepankan sampai keluarga menerima. Hal itu tentu memerlukan waktu.
Kontroversi
Saat MBO ditegakkan, sebenarnya secara legal semua bentuk life support bisa dihentikan. Sebagian berpendapat, dokter mempunyai tanggung jawab dan kekuasaan penuh untuk menghentikan terapi supportive dan tidak memberikan alternatif untuk keluarga. Sebagian berpendapat harus dengan persetujuan keluarga untuk meneruskan atau menghentikan ’’kehidupan’’. Kriteria mati masih dalam perdebatan. Mati batang otak adalah suatu biological death. Apakah kematian secara hakiki ditentukan kegagalan fungsi sel di otak? Apakah jiwa (soul) atau roh (spirit) berada di batang otak? Semoga sains bisa menjawabnya.
~ Dr. dr. Asra Al Fauzi, SpBS,
diterbitkan oleh media harian Jawa Pos pada Maret 2015