Cerita Survivor Stroke di Hari Stroke Dunia
Hari ini (29/10) diperingati sebagai World Stroke Day atau Hari Stroke Sedunia. Penyakit yang menyerang otak itu kini menjadi penyebab kematian terbanyak kedua setelah jantung koroner. Inilah kisah para survivor stroke.
Kepergian Gayatri Wailissa di usianya yang baru 19 tahun itu memang mengejutkan. Poliglot 13 bahasa dari Ambon itu mengeluh sakit kepala, lalu koma empat hari sebelum akhirnya meninggal Kamis lalu (23/10). Menurut pernyataan orang tua, remaja cemerlang dengan segudang prestasi akademis itu mengalami pendarahan di otak alias stroke pendarahan.
Pendarahan otak serupa juga dialami Christine Wiguna. Perempuan dari Surabaya yang berusia 28 tahun itu adalah pasien arteriovenous malformation (AVM, salah satu kelainan otak yang menyebabkan pembuluh darah pecah). Syukur, Christine terus bertahan hingga kini meski harus menjalani empat kali operasi selama rawat inap di rumah sakit 2,5 bulan. Dia keluar dari RS April lalu.
Ketika dikunjungi di kediamannya di daerah Bukit Mas, Surabaya Barat, Senin (27/10), kondisi Christine belum pulih. Jalannya masih tertatih. Posisi kaki dan tangan kirinya masih asimetris. ”Bulan ini saya mulai bisa jalan, sebelumnya masih pakai kursi roda,” ucap perempuan 28 tahun tersebut.
Sudah sebulan bisa jalan, Christine masih tidak bisa berdiri lama. Berdiri tak sampai setengah jam, kakinya sudah sakit. Serangan stroke itu dialaminya pada awal 2014. Tepatnya pagi saat Hari Raya Imlek, 31 Januari lalu. Semua berlangsung sangat cepat. Bangun tidur, Christine merasa sangat pusing. ”Saya langsung minta tolong ke suami untuk diambilkan minyak kayu putih. Setelah itu, saya sudah tidak ingat apa-apa lagi,” ucap istri Erwin Hadi Wibowo tersebut.
Christine memang tidak ingat banyak apa yang menimpanya. Ibu mertuanya, Lilik Indahwati, yang menjelaskan bahwa perempuan lulusan UK Petra Surabaya itu ketika tidak sadarkan diri dibawa ke rumah sakit terdekat, yaitu RS Mitra Keluarga Satelit. Oleh dokter yang menangani, spesialis bedah saraf dr Asra Al Fauzy SpBS, Christine diminta menjalani proses MRI (magnetic resonance imaging). Langsung diketahui terjadi pendarahan hebat di otak Christine. Banyaknya 60 cc. Operasi pertama yang dilakukan dokter adalah mengambil batok kepala.
Menurut Lilik, darah di otak Christine diambil sebisanya. Tidak semua darah itu diambil karena dikhawatirkan terjadi efek samping yang fatal. Untuk mengambil sisa darah yang belum keluar, ditanamkan slang di otak yang akan mengalirkan darah ke luar. Sedangkan batok kepala Christine dititipkan di Bank Jaringan RSUD dr Soetomo. ”Saya yang mengantarkan ke Gedung Diagnostic Center. Kata dokter, otaknya masih memar. Jadi, otaknya hanya dibalut kulit tanpa batok kepala,” papar Lilik.
Kondisi tersebut berlangsung selama 2,5 bulan. Selama itu, tutur Lilik, keluarga hanya bisa pasrah. Dokter pernah mengatakan bahwa kemungkinan hidup Christine 50:50 saja. Selanjutnya, ada tiga operasi lagi yang dilakukan dr Asra bersama dr Nur Setiawan Suroto SpBS, termasuk operasi keempat yang meliputi pemasangan batok kepala lagi. Selama kurun waktu itu, Christine kadang sadar. Bisa mengerti perkataan orang di sekelilingnya dengan memberikan respons berupa gerakan. ”Suaminya 24 jam di rumah sakit menjaganya, saya di rumah menjaga anak-anaknya,” imbuh Lilik.
Sedangkan Christine sendiri mengaku tidak sadar sama sekali saat itu. ”Yang saya tahu adalah suatu pagi saya duduk di kursi roda dan keliling rumah sakit. Saya merasa tidak pusing dan dokter memperbolehkan pulang,” paparnya. Momen yang diceritakan Christine itu adalah hari ketika dia diizinkan pulang oleh dokter.
Di rumah, Christine masih harus banyak istirahat. Setiap hari dia mesti minum obat. Pantangan makanannya tidak terlalu banyak. Hanya, makanan asin mesti dihindari untuk mencegah hipertensi. Untuk mengembalikan kondisi, Christine menjalani fisioterapi sebulan sekali.
Sejak stroke, efek samping paling terasa pada ingatannya. Dia merasa seperti amnesia alias mengalami gangguan daya ingat. ”Misalnya barang anak saya yang biasanya ditaruh di mana, jadi lupa. Atau kemarin bikin janji sama papanya anak-anak, tapi lupa,” ucap ibunda Jenice Catline dan Michelle Valencia tersebut.
Christine sampai minta kepada dr Asra vitamin khusus otak agar daya ingatnya kembali normal. Sebetulnya obat-obatan yang diminum sudah termasuk vitamin otak. Namun, memang hasilnya tidak bisa instan.
Apakah merasakan gejala sebelum pingsan ketika serangan stroke itu datang? Christine mengaku tidak punya keluhan. Tapi, saat SMA, dia memang sering pusing. Sakit kepala itu dia anggap enteng karena langsung lenyap begitu minum analgesik. Christine kini memang masih belum bisa menjalani hari-hari seperti sebelum sakit. Namun, dia tak henti-henti bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup sampai saat ini. ”Untuk itu, saya ingin melakukan kesaksian di gereja. Saya ingin menceritakan bagaimana bisa mendapatkan keajaiban untuk hidup lagi,” ujarnya.
Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Penyebabnya bisa pecahnya pembuluh darah, bisa juga penyumbatan. Jika Christine adalah contoh yang mengalami pecahnya pembuluh darah, Christofel, 32, punya cerita mengalami stroke karena penyumbatan.
Hari itu Christofel merasa sedang masuk angin. Dia, yang sedang mengerjakan sebuah proyek, minta dikeroki anak buahnya. Setelah selesai, dia pun bangun. Seketika itu tangan kanannya kaku. Sulit digerakkan. Terasa berat seperti kram hebat. Diikuti dengan kaki kanan. ”Saya sudah duga itu pasti stroke soalnya sudah sempat baca di internet,” katanya.
Gejala itu disusul pembengkakan di lengan kanan serta rasa pusing. Chris, sapaan dia, harus menunggu beberapa saat sebelum tenaganya kuat untuk berdiri. Serangan yang baru terjadi Juni lalu tersebut seperti sudah diprediksinya. Pria kelahiran Kefamenanu, NTT, tersebut seringsurfing artikel stroke. Misalnya tentang gejala, faktor risiko, usia, hingga pola hidup tak sehat. Apalagi begitu tahu satu faktor penyebabnya adalah merokok. ”Saya perokok berat. Sering berpikir, cepat atau lambat saya pasti kena stroke,” katanya.
Berbekal informasi itu, begitu bisa berdiri, Chris langsung meminta diantar ke RS. Hasil pemeriksaan menunjukkan penyumbatan di pembuluh darah otak. Chris diopname selama dua malam tiga hari. ”Saya tahu saya potensial kena stroke, tapi tidak terbayang di usia semuda ini,” kata pria yang saat ini sedang meneruskan kuliah S-2 Teknik Kelautan ITS itu.
Kini Chris sudah membaik. Tak ingin mengalami hal serupa, warga Rungkut, Surabaya, tersebut kini mengubah gaya hidup. Rokok kini tak dia sentuh lagi. Dia juga menjalani diet. ”Hindari garam dan lemak. Saya masih muda. Masih banyak hal yang harus saya lakukan. Nggak mau kena stroke lagi,” ucap dia.
Selain Chris, ada Krido Saptomo. Pria 50 tahun itu terserang stroke dua kali. Serangan pertama dia alami saat sujud salat Subuh pada 18 Oktober tahun lalu. ”Waktu sujud kedua langsung terasa fly,” katanya.
Oleh sang istri, dia diboyong ke klinik di dekat rumah. Kemudian, dia dirujuk ke rumah sakit dan diketahui ada pembuluh darah yang pecah. Setelah gumpalan darah tersedot, Krido dirawat tiga minggu. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pecahnya pembuluh darah di otak itu disebabkan hipertensi. Memang ayah dua anak tersebut punya riwayat hipertensi.
Setelah sepuluh hari rawat jalan, serangan kedua mendera pria yang berprofesi sebagai desainer interiortersebut. Kali ini bukan akibat pecahnya pembuluh darah, melainkan penyumbatan pembuluh darah. Dengan bantuan obat dan mengatur pola makan, kini serangan itu tak muncul. ”Saya hindari daging merah. Kalau daging putih seperti ikan, itu wajib makan,” ujarnya.
Dikutip dari: JPNN.com