Menyambung Kerjasama Setelah 16 Tahun
DR. dr. Asra Al Fauzi, SpBS dan dr. Achmad Fahmi Ba’abud, SpBS melakukan kunjungan selama dua hari ke Vietnam. Dua dokter dari Surabaya Neuroscience (SNeI) itu menyaksikan perkembangan pelayanan kedokteran di negara dengan jumlah penduduk terbanyak kedua di Asia Tenggara setelah Indonesia tersebut.
Pada hari pertama kunjungan yang dihadiri perwakilan beberapa rumah sakit di Wisma Duta KBRI Vietnam, dr. Achmad Fahmi Ba’abud SpBS mendapat banyak pertanyaan tentang penggunaan DBS (Deep Brain Stimulation). Termasuk metode stereotactic brain lesion. Yaitu, pemakaian alat bor otak untuk mengendalikan gangguan gerak.
Menurut dr. Fahmi, teknik itu memang butuh “seni”. Jika irisan di kepala terlalu kecil, parkinson bisa kambuh kembali setelah satusampai dua bulan pasca penanganan. Kalau irisan terlalu besar, pasien malah tidak bisa bergerak. “Harus pas, sehingga gangguan geraknya bisa hilang permanen” ujarnya di depan sekitar 30 dokter dan President of Vietnam Psychiatric Association – Prof. Tran Van Cuong.
Di mata Duta Besar Indonesia untuk Vietnam, Ibnu Hadi. Pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) seperti sekarang ini, kondisi di dunia medis Vietnam itu menjadi potensi yang bisa digarap oleh Indonesia. Ibu menuturkan, dalam waktu dekat ada satu institusi Rumah Sakit di Indonesia yang menanamkan modal di Vietnam. Karena berbeda dengan Indonesia yang memproteksi diri dengan berbagai aturan, Vietnam tidak menerapkan ketentuan yang sulit di sektor industri kesehatan. Karena itu, pebisnis kesehatan dan dokter-dokter Indonesia bisa masuk ke Vietnam.
Menurut dr. Dai Ha, Deputi Departemen Bedah Saraf di RS. Viet Duc. Beberapa dokter spesialis tidak ada di Vietnam, seperti dokter bidang bedah saraf endovaskuler dan neurofungsional. Hal tersebut merupakan salah satu problem kesehatan di Vietnam. “Oleh karena itu kami ingin mengirim dokter untuk belajar neurofungsional ke Indonesia” ujar dr. Dai Ha.
Di bidang penelitianpun Vietnam akan menjadi bidikan kerja sama. Contohnya, penelitian di bidang stem cell atau sel punca. Di Surabaya, antrean pasien untuk mendapatkan layanan stem cell sudah mencapai tiga bulan dengann jumlah pasien empat orang per hari. Berbeda jauh dengan rumah sakit di Hanoi yang masih sebatas melakukan penelitian. “Kami sangat kagum, Anda melakukan banyak hal. Kami tunggu risetnya untuk dipublikasikan”. Ujar Presiden Asosiasi Neurologi Hanoi sekaligus Kepala Departemen Neurologi RS. Bach Mai Prof Le Van Thinh Phd.
Mereka (dokter-dokter di Vietnam) belum bisa menggunakan DBS. Berbeda dengan Indonesia yang sudah menjadi pionir untuk penanganan parkinson di Asia Tenggara. Selama ini fasilitas kesehatan di Vietnam lebih banyak menangani kasus neurotrauma. DAlam setahun, ada sekitar dua ribu operasi bedah trauma kepala di RS. Viet duc.
“Fellowship program ini menunjukkan bahwa kita mampu membawa nama Indonesia di dunia medis. Sudah saatnya kita (orang Indonesia) go international.” Ujar DR. dr. Asra Al Fauzi SpBS. “Dalam jangka panjang, Vietnam menjadi pangsa pasar kita” imbuh dokter yang juga penyandang Sarjana Ekonomi dari Universitas Mangkurat Banjarmasin ini.
Karena menurut Ibnu, kedatangan tim dari Surabaya dinilai sebagai pintu menjalin relasi dalam bidang kesehatan. Maklum, kerja sama terakhir di dunia medis antara Indonesia dan Vietnam tercatat pada 1992, artinya sudah 16 tahun yang lalu.
Hal ini ditanggapi secara positif oleh kalangan medis di Vietnam. Salah satunya yaitu L’Hopital Francais de Hanoi menawari para dokter di Indonesia untuk bekerja di Vietnam tanpa syarat harus bisa berbahasa lokal.
Paska pertemuan itu, tim dokter dari Indonesia untuk menghadiri konferensi dokter bedah se-ASEAN di Hanoi pada akhir tahun mendatang. Dari situ, kerja sama dan kolaborasi dunia medis antara Vietnam dan Indonesia akan dilanjutkan.
Dikutip dari media harian JawaPos – 8 Juni 2016